Senin, 18 Juli 2011

“PALLIATIVE CARE” BIDANG SPIRITUAL Bagian I

Renungan
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji'uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. al-Baqarah [2]: 155-157)

HAKIKAT SAKIT
Musibah adalah keniscayaan yang pasti dialami oleh setiap manusia, dari dahulu hingga sekarang, tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Menghindari atau menangkal suatu musibah bukan merupakan jalan keluar.

Rasulullah pun Pernah Sakit
Sakit yang menimpa seseorang merupakan ketentuan yang pasti menghampiri setiap manusia, termasuk Rasulullah sendiri, yang merupakan kekasih Allah.

Jangan Putus Asa!
Sikap marah, benci, ataupun kecewa dengan sakit yang diderita bukanlah sikap seorang muslim yang baik, karena dengan begitu berarti telah berputus asa dengan rahmat dan kasih sayang Allah Swt.

Ujian Untuk Semua
Dalam Islam, sakit merupakan cobaan atau ujian yang diberikan Allah Swt. Tidak hanya kepada orang yang sedang menderita sakit, tetapi juga kepada orang di sekitarnya.

Sakit Nabi Ayyub
ž  Nabi Ayyub yang menderita Kusta. Sekujur tubuhnya dipenuhi dengan ulat belatung, kecuali hati yang selalu berzikir mengingat Allah. Kesabaran dan ketabahannya, Nabi Ayyub lulus ujian Allah.
ž  Tetapi tidak bagi keluarganya, karena dalam masa sakitnya ini, salah satu isteri dan anak-anaknya meninggalkan Nabi Ayyub As. dalam kesendirian.

Sakit pun Berpahala
Allah memberikan suatu ganjaran besar bagi orang yang tabah dan sabar menerimanya, karena sakit atau gangguan lainnya justru akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan dedaunan.
Hadis Nabi, Rasulullah Saw, bersabda, “Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya." (Hr. Al-Bukhari dan Muslim)

Sakit Bukan Hukuman
Rasulullah mengajarkan agar tidak berkeluh-kesah atau putus asa dengan rasa sakit, tetapi justru memaknai hal itu sebagai sebuah anugerah dan karunia dari Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-Nya. Sakit yang dirasakan oleh setiap insan boleh jadi menjadi penghapus kesalahan-kesalahan yang dilakukannya semasa ia hidup di dunia. Dengan perkataan lain, musibah sakit yang menimpa seseorang tidak dimaknai sebagai hukuman atau azab, akan tetapi semakin ia banyak ditimpa sakit, maka semakin besar pula peluang penghapusan dosa-dosa dan kesalahannya.

Pasrah Setelah Berusaha
Adanya jaminan dari Allah Saw. bahwa sakit merupakan sarana penghapusan dosa bagi manusia bukan berarti pula harus pasrah dan merasakan saja penderitaan tanpa ada usaha untuk menyembuhkannya. Tawakal dalam Islam dimaknai sebagai suatu kepasrahan dan penerimaan terhadap apa yang akan terjadi setelah berusaha dan melakukan upaya untuk terwujudnya sebuah tujuan atau maksud. Artinya, dalam kondisi sakit setiap orang pasti menghendaki adanya kesembuhan, untuk mencapai itu perlu adanya suatu usaha atau upaya untuk mengobatinya.

Setiap Penyakit Pasti Ada Obatnya
Penyakit diciptakan Allah dan Dia pula yang menyediakan obat atau penawarnya.
Sabda Rasulullah, "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.“  (Hr. Al-Bukhari)

Tetap Optimis
Allah mendorong setiap hamba-Nya yang tertimpa penyakit untuk selalu optimis, karena setiap penyakit ada obatnya, tetapi juga tidak melepaskan sakit itu an sich urusan duniawi, karena sakit yang diderita dapat menghapuskan kesalahan dan dosa yang telah dilakukan.

ISTIRJA

Kalimat istirja’ adalah “Innaa lillaah wa Innaa Ilahi Raaji’uun”, yang artinya “Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kepada-Nya pula kita akan kembali”. Kalimat ini bermakna bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa ketika Allah menghendaki terjadinya sesuatu, termasuk musibah atau kematian.

Istirja’, Ikrar Kehambaan
UngkapanInnâ Lillâhi merupakan ikrar terhadap kehambaan manusia dan kepemilikan mutlak bagi Allah, sementara wa innâ ilayhi râji’un merupakan ikrar bahwa setiap makhluk dan kenikmatan yang menyertai bersifat fana (sementara) dan semuanya akan kembali kepada-Nya.

Kapan Mengucapkan Istirja’?
Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil. Firman Allah
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji'uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. al-Baqarah [2]: 155-157)

Kabar Gembira bagi yang Sabar
Menurut Imam al-Syafi’i, ketakutan ini meliputi beberapa halkelaparan, kekurangan harta, serta dikurangi jiwa, dan buah-buahan, sakit yang menimpaatau kematian anak-anak. Dari kondisi ini, Allah Swt. memerintahkan kepada Rasulullah Saw. untuk memberikan kabar baik kepada orang-orang yang ditimpa musibah, maka katakanlah secara lisan dan di dalam hati secara bersamaan, bahwa “kami sesungguhnya berasal dari Allah atau kami adalah hamba Allah dan hanya kepada-Nya pula kami akan kembali” setelah kematian.

Sekadar Pinjaman!
Menurut Abu Bakar al-Qaraq, Inna lillahi berarti bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan innâ lilâhi râji’un merupakan suatu ikrar dalam diri manusia dengan kehancuran setiap apa yang dipinjamkan Allah tersebut. Mereka yang mengakui tentang eksistensi milik Allah inilah yang menjadikan seseorang mendapatkan ampunan (maghfirah) dan kasih sayang (rahmat) dari Allah, serta sebagai orang yang diberikan petunjuk.
Beberapa rangkaian ayat ini turun Allah Saw. pasca perang Badar dan saat itu terdapat empat belas orang umat Islam yang meninggal di medan perang, delapan orang dari Anshar dan enam orang dari Muhajirin. Kemudian orang-orang berkata tentang kematian ini, bahwa mereka yang wafat telah kehilangan kesenangan dan kenikmatan duniawi. Dari sini Allah kemudian menurunkan ayat ini.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, kenikmatan duniawi inilah yang membedakan seorang muslim yang sejati dan mereka yang munafik, karena bagi mukmin sejati seluruh kenikmatan dan kesenangan yang ada di dunia hanya bersifat sementara dan akan kembali kepada-Nya. Sedangkan munafik, menjadikan kenikmatan duniawi sebagai tujuan kehidupan dan sangat merasa takut jika kenikmatan ini diambil darinya.

Penyakit Hubbudun-ya
Ketakutan yang berlebihan terhadap urusan duniawi inilah yang menjauhkan seseorang dari Allah, karena pada saat yang sama ia telah menyampingkan Allah dari kehidupannya.

Kasih Sayang bagi yang Sabar
Orang-orang yang bersabar dijanjikan dengan kebaikan dari setiap musibah yang menimpanya, pahala tanpa perhitungan (hisâb), dan bagi mereka itu ampunan dari setiap dosa dan keburukan yang dilakukan. Dengan bersabar mereka juga diberikan kasih sayang (rahmat), berupa kesejukan hati dan ketenangan jiwa ketika tertimpa musibah. Orang-orang yang bersabar dalam musibah akan diberikan petunjuk kepada kebenaran, kebaikan, dan kepada perbuatan-perbuatan yang bermanfaat, sehingga mereka menjadi orang-orang yang menang di dunia dan akhirat.

MATERI PELATIHAN PALLIATIVE CARE
Pusat Studi dan Pengembangan Perawatan Paliatif
Lembaga Kesehatan NU
Gedung 
PBNU lt 7Jl. Kramat raya 164 jakarta 13810


Kembali kedepan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar